EMOTIONAL & SPIRITUAL INTELLIGENCE

Emotional Intelligence

Emotional Quotient (EQ) adalah kemampuan untuk mempersepsikan, memahami, dan secara efektif menerapkan kekuatan dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi (Cooper dan Sawaf, 1998). Hal tersebut juga disampaikan oleh Salovey dan Mayer (dalam, Stein dan Book, 2002) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, menggapai dan membangkitkan indra untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan makna, serta mengendalikan perasaannya dengan cara. yang menumbuhkan emosional dan intelektual.

Goleman mempopulerkan teori-teori pendapat ahli kecerdasan bahwa terdapat aspek-aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan intelektual (IQ) dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan konvensional. Ia menyebutnya kecerdasan emosional dan mengaitkannya dengan kemampuan mengelola perasaan, kemampuan memahami situasi, bertindak sesuai dengan persepsi itu, kemampuan berempati, dan lain-lain. Jika seseorang tidak mampu mengelola aspek rasa yang dimiliki dengan baik, maka tidak akan mampu menggunakan aspek kecerdasan konvensional (IQ) secara efektif, menurut Goleman (Adhipurna, 2001).

Dari hasil penelitian tentang otak dan perilaku, Goleman memperhatikan mengapa orang ber-IQ tinggi menggelepar dan mereka yang IQ-nya dikelola dan berhasil. Dari hasil penelitian ini faktor seseorang yang kesadaran diri dan kontrol impuls, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan keterampilan sosial adalah semua yang disebut kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional tidak muncul dari kecerdasan yang jelas tetapi dari hasil kerja hati manusia. Kata “emosi” secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penerapan “gerakan” untuk menghilangkan perasaan. Kecerdasan emosional memotivasi seseorang untuk mencari keuntungan dan potensi, dan mengaktifkan aspirasi dan nilai yang paling dalam, dan berbalik dari apa yang dianggap menjadi apa yang dikerjakan. Emosi telah lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan seperti manusia. Emosi dalam bahasa latin disebut “Motus Anima” yang artinya jiwa yang menggerakkan seseorang. Kecerdasan menuntut seseorang untuk belajar mengenali dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta dihormati merespon secara tepat, mengimplementasikan informasi energi dan emosi secara efektif dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari (Cooper dan Sawaf, 2002: xv).

Menurut Homes and Herald (dalam Agustian, 2002: 3) kecerdasan emosional merupakan komponen yang menjadikan seseorang lebih pintar dalam menggunakan emosi dan perasaan (bawah sadar) untuk memahami tentang diri sendiri dan orang lain. Sedangkan menurut Cooper dan Sawaf (2000) Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami serta secara efektif menerapkan kekuatan dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh manusia.

Penelitian tentang EQ menggunakan instrumen Baron EQ-i terbagi dalam lima skala: Skala intrapersonal: harga diri, kesadaran diri emosional, ketegasan, kemandirian, aktualisasi diri; Skala Interpersonal: empati, tanggung jawab sosial, hubungan interpersonal; Skala adaptasi: tes realitas, fleksibilitas, pemecahan masalah; Skala manajemen stres: stres resistensi, impuls kontrol (impuls); Skala suasana hati umum: optimisme, kebahagiaan (Stein dan Book, 2002).

Mengendalikan emosi, membaca perasaan dan hubungan sosial orang lain dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan meletakkan emosi dan amarah pada tingkatan yang tepat dan sesuai, pada waktu yang tepat, untuk tujuan yang benar dan jalan yang benar serta baik (Goleman, 2001: 16).

Kemampuan marah sangat penting karena jika tidak memilikinya, Anda akan membiarkan hal-hal yang tidak boleh ditolerir. Menurut Homes and Herald (dalam Agustia, 2002: 30) jika Anda tidak marah, Anda mungkin sinis, dan jika Anda kehilangan tingkat amarah saat menyaksikan penindasan, maka Anda menurunkan tingkat kepedulian Anda pada yang tertindas.

Untuk memimpin suatu organisasi kepala sekolah dituntut untuk dapat mengendalikan emosinya, karena jika dilihat dari faktor-faktor yang dihadapi kepala sekolah yaitu berhubungan dengan aparatur sekolah, baik guru maupun pegawai non guru, maka kepala sekolah bertanggung jawab kepada orang tersebut haris. Bersabarlah dengan teliti, tenang dan sabar dalam memberikan motivasi agar personil bekerja dengan baik.

Kecerdasan emosional menekankan pemahaman tentang diri sendiri dan orang lain. Cooper dan Sawaf (1997: 12) mengakui bahwa orang dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dapat membuat perbedaan dalam lingkup manajemen yang rumit sebagai berikut: (a) pengambilan keputusan; (B) kepemimpinan; (C) membuka komunikasi yang baik (jujur); (D) hubungan kepercayaan dan kerja tim; (E) loyalitas pelanggan; (F) kreativitas dan inovasi.

Kecerdasan emosional dapat dipertahankan dan merupakan keterampilan yang berharga untuk dikuasai dalam manajemen sekolah yang efektif (Gutsteins, 2004: 29-30).

Kecerdasan emosional dihasilkan dari kombinasi empat komponen integral (Cherniss dan Goleman, 2001: 27). Menurut Goleman (2003: 39) ada empat komponen penting dalam kecerdasan emosional yang merupakan alat penting dalam manajemen yang efektif, komponen tersebut adalah (a) kesadaran diri; (B) manajemen diri; (C) kesadaran sosial; (D) hubungan manajemen.

Komponen pertama kecerdasan emosional adalah kesadaran diri. Ini membawa kesadaran emosi dan kemampuan untuk mengekspresikan secara lisan dengan cara yang sesuai (Goleman, 1999: 56). Kesadaran diri adalah dasar dari kecerdasan emosional yang dapat dibangun di atas komponen lain seperti manajemen, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan (Goleman, 1996: 47).

Menurut Salovey (dalam Goleman, 2001: 58) kecerdasan emosi mempunyai lima bidang utama atau komponen utama antara lain: mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi pada orang lain, dan membangun hubungan.

Mengenali emosi berarti kepala sekolah yang sadar diri, mengenali perasaan, ketika mereka ada / memahami dirinya sendiri dan yakin akan perasaannya dalam mengambil keputusan, dan ketidakmampuan untuk memeriksa perasaan akan membuat kepala sekolah yang berkuasa merasa tidak terkendali. , misalnya menaruh emosi (amarah) pada bawahan untuk memikirkan dampak amarah, misalnya terjadi kelompok kecil, dan bisa terjadi perpecahan akan mengakibatkan hancurnya suatu lembaga pendidikan.

Mengelola emosi diartikan bahwa seorang kepala sekolah menangani perasaan-perasaan yang ada agar dapat terungkap dengan pas dan itu tergantung pada kesadaran guru. Cara mengelola emosi Anda pada seorang kepala sekolah adalah dengan menghibur diri sendiri, melepaskan rasa cemas, kemurungan dan menghilangkan rasa tersinggung akan mengakibatkan munculnya emosi dan mempengaruhi tindakan-tindakan yang tidak dapat dikendalikan atau keputusan yang buruk.

Motivate yourself artinya seorang kepala sekolah mengatur dengan cara sebaik mungkin untuk mencapai tujuan organisasi / lembaga yang dipimpinnya. Cara menguasai diri dan memotivasi diri untuk berekreasi dengan prinsip yang dapat dicontoh oleh bawahan misalnya dengan disiplin jam sekolah dan Kepala Sekolah memiliki semangat dan tujuan untuk pendidikan anak bangsa.

Kemampuan para pelaku berbeda dalam bidang kecerdasan emosional, karena itu merupakan hal yang wajar bagi manusia, yang memiliki sifat setap berbeda orang. Ada kepala sekolah yang bisa mengatasi kecemasan dengan sendirinya, tetapi ada juga kepala sekolah yang sulit menenangkan emosi / amarah guru, sehingga mengakibatkan kepala sekolah melakukan tindakan yang bisa melukai perasaan guru (bawahan). Misalnya ada guru yang berselisih dengan guru lainnya, kepala sekolah seenaknya langsung memberikan teguran (sanksi) pada guru tersebut tanpa terlebih dahulu menyelidiki masalah dan menyadarkan kedua guru tersebut. Tindakan kepala sekolah akan menimbulkan ketakutan bagi kepala sekolah. Artinya tidak bisa meredam emosi / amarah guru dan bila kecerdasan emosi kapabilitas pada diri kepala sekolah, kebiasaan sadar diri dan menghapus hak untuk bisa memperbaiki kekurangan tersebut.

Selain empat komponen esensial tersebut di atas, Goleman (2001: 274) terdapat tujuh elemen esensial lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosional yaitu: kepercayaan diri, rasa ingin tahu, nilai minat, dan keterampilan, berkomunikasi dan bekerja sama.

Confidence adalah perasaan yang ada pada kepala sekolah untuk mengontrol dan menguasai perilaku dan tindakan dalam menyampaikan pengetahuan dan membentuk karakter suatu lembaga. Menurut Lightart (dalam Purwanto, 2015: 144) mengatakan bahwa semua pendidikan harus didasarkan pada keyakinan bahwa anak memiliki hati nurani.

Curiosity merupakan perasaan pada individu atau kepala sekolah yang memiliki perasaan ingin menyelidiki segala sesuatu yang positif dan bermanfaat bagi dirinya atau orang lain atau menjadi baik bagi bawahan di sekolah. Di sisi lain agar tidak menutup perkembangan dunia yang semakin berkembang.

Nilai adalah keinginan dan kemampuan (batiniah) individu atau kepala sekolah untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola atau tujuan pendidikan yang sesuai, tugas sebagai kepala sekolah dan rasa tanggung jawab kepada bawahan dan lembaga adalah hal yang utama.

Keterikatan adalah kemampuan seseorang atau kepala sekolah untuk menjalankan tanggung jawab luhur dalam masyarakat dan negara yang dilandasi perasaan sebagai warga negara Indonesia yang wajib membangun negara Indonesia untuk membangun lembaga pendidikan. Hal itu dikarenakan untuk masa depan bangsa dididik melalui lembaga pendidikan.

Keterampilan informasi adalah kemampuan seseorang atau kepala sekolah memiliki kemampuan verbal (bahasa dan literasi) dan nonverbal (perasaan atau emosi) dalam mengelola dan memimpin lembaga serta memberikan karakter kepada lembaga. Hal tersebut dilakukan dengan cara antara lain; bertukar pikiran, memberikan ide dan konsep kepada siswa dan guru lainnya untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia.

Pembelajaran kooperatif adalah kemampuan seseorang kepala sekolah untuk menyeimbangkan kebutuhan sendiri (swasta) dan kebutuhan akan tanggung jawab dalam masyarakat (karir) pada instansi pimpinan harus bekerjasama dengan lembaga lain untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan yang maksimal atau membentuk lembaga yang mampu. untuk bersaing dengan komunitas pembangunan untuk menghadapi, masalah kehidupan semakin menantang.

Kepala sekolah sadar diri akan tugasnya sebagai “model” atau contoh bagi bawahannya dan kebutuhan untuk beradaptasi (kesadaran diri) antara lingkungan sekolah (bawahan) dengan mood kepala sekolah. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2001: 65) kesadaran diri berarti waspada terhadap suasana hati dan pikiran seseorang tentang keadaan / suasana hati, gaya (prinsipal) dalam menangani dan mengatasi emosi, antara lain; pemarah atau pemarah, dan mudah putus asa.

Kesadaran diri adalah kemampuan seseorang atau kepala sekolah cenderung berfikir positif pada bawahannya, bila suasana hati sedang buruk kepala sekolah tidak khawatir, masalah tidak terpecahkan dan mampu melepaskan diri dari suasana hati saat dialami sendiri, maksudnya saat guru melihat Masalah yang dihadapi bawahan pandangan utama berkacamata “kalau aku jadi dia” malah lebih mudah untuk mengontrol emosi (tidak mudah marah).

Grumpy atau lekas marah adalah kemampuan kepala sekolah merasakan sifat lekas marah berarti kemampuan dan tidak peka terhadap perasaannya, bahkan tidak bisa merasakan perasaan bawahannya. Para Kepala Sekolah yang marah sering kali kehilangan kendali berarti mudah tersinggung dan tidak dapat mengendalikan emosi mereka, yang diwujudkan dengan ucapan atau tindakan ofensif bawahan yang dapat menimbulkan rasa takut bawahan kepada pemimpin.

Abandonment adalah kemampuan seseorang atau kepala sekolah yang mudah menyerah atau menyerah peka terhadap apa yang dirasakan, tetapi cenderung menerima begitu saja suasana hati sehingga tidak ada upaya untuk mengubahnya, misalnya guru yang dihadapkan tergolong kepala sekolah yang kurang disiplin. Terimalah tanpa ada usaha untuk mau merubahnya, Biasanya kepala sekolah yang mengalami depresi dan tenggelam dalam keputusasaan atau masalah sering dihadapi.

Jika kepala sekolah menyesuaikan dengan mood bawahan (guru) atau lingkungan dengan mudah membawa guru yang sedang berlaku, maka pada tingkat emosional pergaulan mereka akan berjalan lebih lancar dan hal ini sudah menjadi kegiatan rutin seorang kepala sekolah yaitu kegiatan sosial di sekolah. lingkungan Hidup. Cara ini biasanya dimiliki oleh pemimpin demokratis yang memiliki kharisma dan kecerdasan sosial yang tinggi. Menurut Hatch dan Gardner (dalam Goleman, 2001: 166) dasar-dasar kecerdasan sosial antara lain; kelompok pengorganisasian, solusi yang dinegosiasikan, analisis sosial.

Pengorganisasian kelompok artinya salah satu kepala sekolah memiliki ketrampilan untuk menjadi pemimpin demokratis di sekolah, dalam hal ini kepala sekolah dapat menginisiasi atau sebagai contoh bagi guru dan mengkoordinasikan / mengajukan tuntutan yang harus dilakukan adalah pengaturan guru sekolah dan tugas guru. sebagai pendidik. Solusi bernegosiasi artinya salah satu kepala sekolah memiliki kemampuan mencegah konflik atau menyelesaikan konflik yang ada dalam arti mahir di bidang diplomasi, misalnya menyelesaikan masalah dan mencegah guru yang berselisih dengan guru lainnya.

Analisis sosial memiliki arti bahwa salah satu kepala sekolah memiliki keterampilan memahami perasaan bawahannya (guru), mendeteksi atau membaca perasaan siswa, serta memiliki kepedulian dan kasih sayang yang tinggi terhadap guru.

Pengaruh kecerdasan emosional adalah karakter yang meliputi; (1) disiplin diri, pengendalian diri, motivasi diri, dan pembinaan diri dalam menyelesaikan suatu tugas / pekerjaan; (2) moralitas yang sangat penting untuk membangun hubungan antara guru dan siswa dan menerjemahkan ke dalam nilai peradaban dan perilaku yang baik; (3) Seni demokrasi meliputi mengesampingkan dorongan hati atau kepuasan hati sendiri, menerima pandangan atau pendapat guru sebagai guru, berempati atau peduli kepada guru serta altruisme dan kasih sayang yang tinggi (Goleman, 2001: 407).

Apabila keterampilan kecerdasan sosial dibarengi dengan kecerdasan emosional akan membuat kepala sekolah-kepala sekolah tersebut profesional di bidangnya dan memiliki hubungan sosial yang erat meliputi komunikasi, keahlian dan kepercayaan masyarakat. Selain keterampilan mengkoordinasikan semua tim di sekolah dalam keberhasilan pembelajaran dan tujuan pendidikan, membuat kesepakatan, terus melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain atau memahami perasaan orang lain, meningkatkan kerjasama dan menghindari konflik. Disisi lain yang penting dimiliki oleh seorang kepala sekolah adalah mau berinisiatif, mau memotivasi diri sendiri untuk bertanggung jawab dan mampu mengatur diri dengan baik dengan cara yang pandai membagi waktu dan komitmen pribadinya terhadap profesi atau pekerjaan.

Hal tersebut di atas didukung oleh Goleman (2001: 398) yang menyatakan bahwa kecerdasan keterampilan merupakan bantuan emosional dan melatih kepala sekolah dalam memperluas pandangan tentang tugas sekolah, menjadikan kepala sekolah tegas sebagai pimpinan lembaga untuk membentuk karakter lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan

Di sisi lain Goleman (2001: 232) mengatakan bahwa kecerdasan emosional penting dalam semua bidang kehidupan. Oleh karena itu, dalam setiap jenjang pendidikan, kepala sekolah dituntut memiliki kepribadian yang baik, sabar dan patut dicontoh layaknya tenaga lainnya. Dilihat dari lingkungan sekolah dan diluar lingkup seorang kepala sekolah dapat menjadi pemimpin yang berani mengambil inisiatif, mau memotivasi diri sendiri untuk bertanggung jawab dan pengaturan diri yang baik, artinya pintar dalam membagi waktu dan komitmen sebagai kepala sekolah. Di sisi lain di tingkat sekolah dasar, kepala sekolah tidak bisa membawa dunia ke kepala sekolah, tetapi kepala sekolah yang masuk ke dunia guru.

Spiritual Intelligence

Zohar dan Marshall memasukkan aspek konteks nilai sebagai bagian dari proses berpikir / kecerdasan dalam kehidupan yang bermakna, untuk ini mereka menggunakan istilah kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient / SQ) (Zohar dan Marshall, 2000). Indikasi kecerdasan spiritual dalam pandangan mereka meliputi kemampuan menghargai nilai dan makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung melihat sesuatu secara holistik, serta kecenderungan mencari jawaban yang mendasar terhadap situasi kehidupannya, dan lain-lain.

Bagi Zohar spiritualitas tidak boleh dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan ini, karena menurut seorang humanis atau ateis dapat memiliki spiritualitas yang tinggi. Agustian (2001a) memberikan makna yang bertentangan dengan nilai Danah Zohar, yang menyatakan SQ berkaitan dengan ketuhanan atau masalah keagamaan. Kecerdasan manusia terwujud karena dorongan hati nurani (nature) yang bersumber dari Tuhan dengan unsur kodrat Tuhan atau God-Spot, menjadikan manusia memiliki ketangguhan personal dan ketahanan sosial dalam mewujudkan kesuksesan manusia.

Spiritual Quotient dengan pemikiran sekuler belum mampu memberikan makna yang komprehensif kepada manusia. Kemampuan menghargai nilai dan makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif masih sebatas kemampuan diri sendiri yang suatu saat bisa hilang tanpa kepercayaan dan keyakinan akan kekuatan transendental yang memberikan energi bagi manusia. Kesadaran bahwa kehidupan manusia adalah tiada henti, dapat memberikan kekuatan yang cukup besar yang dapat mempengaruhi manusia dalam kondisi apapun, baik kondisi normal maupun kondisi dimana manusia dihadapkan pada permasalahan kehidupan.

Agustian (2001a) menjelaskan kecerdasan emosi untuk bekerja secara horizontal yang hanya berperan untuk hubungan antara manusia dan manusia, sedangkan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berbentuk hubungan vertikal dengan Sang Pencipta. Penggabungan ketiga hal ini akan menghasilkan manusia paripurna yang siap hidup dan menghasilkan efek keberhasilan dari apa yang dilakukannya (lihat Gambar 1).

Menurut Ali (2015) pembelajaran spiritual tidak hanya bisa dilakukan secara teori saja. Namun, yang lebih penting adalah membuat pengetahuan di dalam diri mereka menjadi kesadaran. Berdasarkan wawasan ini datang spiritual seseorang tidak hanya belajar dari buku-buku saja, tetapi pemahaman yang didapat akan berfungsi sebagai bentuk perilaku sadar tanpa paksaan.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan otak sentral yang berfungsi untuk mengintegrasikan semua kecerdasan manusia sehingga seutuhnya utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Menurut Khavari (dalam Nggermanto, 2014), kecerdasan spiritual adalah fakultas dimensi non material atau jiwa manusia yang merupakan intan yang belum terasah. Dimensi spiritual adalah inti dari area kehidupan manusia atau paling pribadi dan sangat penting.

Kecerdasan spiritual menurut Ginanjar (2006) adalah kemampuan memberikan makna spiritual pada pikiran, perilaku dan aktivitas serta mampu mengintegrasikan IQ, EQ dan SQ secara menyeluruh. Di sisi lain, ia mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan dasar yang diperlukan untuk berfungsinya kecerdasan intelektual dan emosional secara efektif atau bahkan kecerdasan spiritual yang lebih tinggi adalah kecerdasan yang harus dikembangkan.

Hal senada diungkapkan Mahayana (dalam Nggermanto, 2014) bahwa tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi antara lain; memiliki prinsip dan visi yang kuat, mampu melihat kebersamaan dalam keberagaman, mampu menempatkan diri pada setiap sisi kehidupan, serta mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.

Berdasarkan apa yang dituturkan oleh Zohar (2005: 135-136), menjelaskan dua belas ciri manusia memiliki SQ yang tinggi, yaitu: (a) kesadaran diri; (b) Dipandu oleh visi dan misinya; (c) Holisme; (d) Spontanitas; (e) Kepedulian; (f) Rayakan; (g) Independen terhadap lingkungan; (h) tren; (i) Reabilitas untuk memandu; (j) memanfaatkan kemalangan secara positif; (k) Kerendahan hati; (l) Rasa panggilan.

Hal senada diungkapkan Mahayana (dalam Nggermanto, 2014: 123) bahwa rambu-rambu orang memiliki SQ yang tinggi antara lain; memiliki asas (asas keadilan, kebenaran, dan kebaikan) dan berwawasan kebersamaan dan keberagaman yang kuat, cakap, mampu memaknai setiap sisi kehidupan, serta mampu mengelola dan bertahan dalam keterpurukan.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, indikator yang menunjukkan kecerdasan spiritual antara lain: (a) memiliki visi; (b) pemikiran holistik; (c) mampu mengeksplorasi dan mengeksploitasi nilai; (d) membangun kasih sayang; (e) rendah hati; (f) memaafkan; (g) bertanggung jawab; (h) dipercaya: (i) syukur dan kesabaran.

Adapun untuk meningkatkan SQ antara lain dengan meningkatkan penggunaan proses psikologis tersier. Prosesnya adalah kecenderungan untuk bertanya mengapa, untuk mencari keterkaitan semua hal, perbaikan membawa asumsi ke permukaan tentang di mana di belakang atau dalam sesuatu, itu menjadi lebih meditatif, sedikit jangkauan di luar diri, bertanggung jawab, sadar diri, lebih jujur diri , dan lebih berani.

Kepala sekolah digambarkan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi terhadap staf dan siswanya. “Kepala sekolah adalah banyak dari mereka yang mengetahui tugas mereka dan mereka yang mengatur nada untuk sekolah mereka” (Lipham, 1985: 1).

Arti kata “kepemimpinan” sangat erat kaitannya dengan arti kata “memimpin”. Kata memimpin mengandung arti kemampuan untuk memobilisasi semua sumber daya yang ada dalam suatu organisasi sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

hhttp://article.sciencepublishinggroup.com/html/10.11648.j.ijpbs.20170201.11.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*